Sejarah Masjid Agung Banten

Sumber Gambar :

Sejarah Masjid Agung Banten

Masjid Agung Banten merupakan situs bersejarah peninggalan Kesultanan Banten. Masjid ini terletak di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Masjid ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati, pada tahun 1566 M atau bulan Zulhijjah 966 H. Sejarah pendirian Masjid Agung Banten berawal dari instruksi Sunan Gunung Jati kepada anaknya, Hasanuddin. Konon, Sunan Gunung Jati memerintahkan kepada Hasanuddin untuk mencari sebidang tanah yang masih suci sebagai tempat pembangunan Kerajaan Banten. Setelah mendapat perintah ayahnya tersebut, Hasanuddin kemudian salat dan bermunajat kepada Allah agar diberi petunjuk tentang tanah untuk mendirikan kerajaan. Konon, setelah berdo’a, secara spontan air laut yang berada di sekitarnya tersibak dan menjadi daratan. Di lokasi itulah kemudian Hasanuddin mulai mendirikan Kerajaan Banten beserta sarana pendukung lainnya, seperti masjid, alun-alun, dan pasar. Perpaduan empat hal: istana, masjid, alun-alun, dan pasar merupakan ciri tradisi kerajaan Islam di masa lalu.4 Sejarah berdirinya Masjid Agung Banten juga diawali oleh adanya cita-cita Sultan Maulana Hasanuddin untuk memiliki sarana pusat penyebaran agama Islam ke seluruh wilayah Banten yang pada saat itu mayoritas beragama Hindu. Juga tempat rakyat, pembesar kerajaan, serta pedagang Islam yang singgah di Bandar Banten untuk bersama-sama melakukan salat berjam’ah bersama Sultan.

 

Bangunan Masjid Agung Banten

Bangunan Masjid Agung Banten merupakan suatu komplek dengan luas tanah 1,3 ha yang dikelilingi pagar tembok setinggi satu meter. Pada sisi tembok timur dan barat masing-masing terdapat dua buah gapura di bagian utara dan selatan yang letaknya sejajar. Bangunan Masjid menghadap ke timur berdiri di atas pondasi masif dengan ketinggian satu meter dari halaman.

 

Arah Kiblat Masjid Agung Banten

Masjid Agung Banten merupakan situs bersejarah peninggalan Kesultanan Banten. Masjid ini menjadi salah satu tinggalan di kawasan Banten Lama yang masih eksis dan dipergunakan sebagaimana fungsinya dari awal. Eksistensi masjid ini menjadikannya sebagai nafas sejarah dan budaya Banten. Bahkan kini, masjid ini sudah menjadi simbol identitas dan pusat budaya Banten yang Islami dipakai sebagai logo oleh lembaga pemerintah maupun organisasi-organisasi profit serta beberapa lembagalembaga swadaya masyarakat. Dalam sejarah Masjid Agung Banten, baik mengenai kapan berdirinya, tokoh utama pendiri masjid, pembangunan/pemugaran masjid dari masa ke masa, maupun seluk beluk bangunan Masjid Agung Banten tercover jelas dalam catatan sejarah yang ada dan masih dapat ditemukan sampai sekarang. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan sejarah penentuan arah kiblatnya. Karena tidak ada catatan sejarah yang secara khusus, jelas dan tegas dalam memberikan penjelasan tentang metode penentuan arah kiblat Masjid Agung Banten. Menurut Tb. Ismetullah al-Abbas,28 arah kiblat Masjid Agung Banten ditentukan oleh para Waliyullah Banten yang dipimpin langsung oleh Sultan Maulana Hasanuddin sendiri. Dengan karomahnya, Sultan Maulana Hasanuddin cukup dengan mengangkat tangannya dan menunjukan arah kiblat sehingga Ka’bah yang ratusan km jauhnya, dapat terlihat jelas melalui perantara Sultan Maulana Hasanuddin. Hal senada juga diungkapkan oleh Obay Sobari29. Beliau menyatakan bahwa penentuan arah kiblat Masjid Agung Banten di prakarsai oleh Sultan Maulana Hasanuddin dengan karomahnya, sehingga Ka’bah seperti berada di depan mata. Beberapa masa setelah Sultan Maulana Hasanuddin meninggal, sempat terjadi perselisihan pendapat di masyarakat mengenai arah kiblat Masjid Agung Banten tersebut. Kemudian munculah Syekh Asnawi Caringin30 yang menengahi perselisihan tersebut. Kemudian Syekh Asnawi Caringin melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Sultan Maulana Hasanuddin dahulu yaitu dengan mengangkat tangannya, kemudian mengacungkan jarinya yang berarti menunjukan arah kiblat Masjid Agung Banten. Pada kenyataannya, bangunan Masjid Agung Banten sendiri menghadap ke timur. Dan shaf masjidnya sejajar dengan bangunan masjidnya. Setelah dilakukan pengecekan, arah kiblat Masjid Agung Banten saat ini yaitu 800 40’ 21,3’’ dari titik utara ke barat, 90 19’ 38,7’’ dari titik barat ke utara, dan azimuth kiblatnya 279 0 19’ 38,7’’ UTSB.31 Padahal berdasarkan perhitungan yang dilakukan penulis pada 11 Mei 2012, dengan data Bujur Ka’bah (λ k ) 390 49’ 34,33” BT, Lintang Ka’bah (ф k ) 210 25’ 21,04” LU,32 Bujur Masjid Agung Banten (λ x ) 1060 9’ 14,2” BT, Lintang Masjid Agung Banten (ф x ) -60 2’ 8,9” LS. Diketahui arah kiblat Masjid Agung Banten sebenarnya adalah 25 0 16’ 22,13’’ dari titik barat ke utara atau 640 43‘ 37,87’’ dari titik utara ke barat atau 2950 16’ 22,13’’ UTSB. Dengan demikian dapat diketahui bahwa masjid ini dapat dikatakan tidak akurat dan mengalami kemelencengan dari arah kiblat semula sebesar 150 56’ 43,43’’ kurang ke utara.

Menurut penulis, ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya selisih antara arah kiblat Masjid Agung Banten yang ada saat ini dengan arah kiblat Masjid Agung Banten seharusnya. Faktor pertama, Sultan menentukan arah kiblat dengan patokan arah barat, karena arah kiblat Masjid Agung Banten saat ini lebih mengarah ke barat. Dan karena pemahaman arah kiblat di masyarakat yaitu menghadap ke barat. Tetapi, karena mungkin adanya kesalahan dalam pembangunan masjid sehingga masjid ini tidak persis menghadap ke barat tetapi 90 19’ 38,7’’ ke arah utara. Faktor kedua, Sultan menentukan arah kiblat Masjid Agung Banten sudah sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang tidak berada di timur Mekah secara persis namun sedikit mengarah ke selatan (tenggara), sehingga Sultan menentukan arah kiblat Masjid Agung Banten menghadap ke barat serong ke utara (barat laut), meskipun pada kenyataannya masih kurang 150 56’ 43,43’’ ke arah utara untuk sampai pada arah kiblat yang seharusnya. Pernah ada keinginan dari pihak kenadziran Masjid Agung Banten sendiri untuk merubah arah kiblat masjidnya dari arah kiblat semula. Namun, setelah diadakannya musyawarah diantara Ulama dan sesepuh sekitar, mereka memutuskan untuk tetap mempertahankan arah kiblat Masjid Agung Banten seperti pada awal masjid itu didirikan. Karena mereka tidak mau menyalahi apa yang sudah ditetapkan oleh Sultan Maulana Hasanuddin. Dan karena mereka sangat menghormati dan berpendapat bahwa Sultan Maulana Hasanuddin adalah Waliyullah yang ketetapannya tidak dapat diragukan lagi.

 

Sumber : http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/1427/4/082111100_Bab3.pdf


Share this Post